Khai
3 min readFeb 16, 2024

— chasing the last dusk (Yuuta Okkotsu)

  • Yuuta Okkotsu and fem!reader
  • Characters belongs to the Original Author (Gege Akutami)
  • Out of character

Katanya, hari ini hari terakhir manusia ada di dunia. Semua kehidupan akan lenyap selepas matahari meninggalkan mayapada. Tidak ada lagi yang namanya semesta, semuanya 'kan segera sirna.

Yuuta yang pertama mengatakan hal itu padaku bilamana kami bersemuka di tengah nadi kota, rona pada rupanya tak mengindikasi apabila ia hanya mengada-ngada. Sedang matanya sibuk tertuju pada tubuh cakrawala yang di sana beterbangan burung-burung gereja, aku memikirkan setiap kata yang ia katakan tadi di bilik kepala.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Sepasang manik kami kembali bertautan laiknya semula, Yuuta menarik senyum di kedua ujung bibirnya, seraya berkata, “Tidak ada, kita nikmati saja detik-detik terakhir sebelum kita tiada.”

Kalimatnya mengudara begitu saja, mengecup ke kedua runguku tanpa adanya aba-aba. Apakah menurut Yuuta, akhir dunia itu tidak berarti apa-apa?

Nadi kota yang dalam benang kenang ramai serupa tak mengenal kata mati, kini bersilih sunyi menjelma kota yang tak suah ditempati. Orang-orang memilih angkat kaki, menuju ke tempat yang menurut mereka aman dari ‘mati’.

Sementara kami berdua menghadapi realita bahwasanya dunia sebentar lagi 'kan sirna, rona bimbang segera menggurat pada rupa. Yuuta yang membaca keruh pada rupaku yang kemudian menarik lenganku, jemari kami saling bertaut.

“Ayo kita pergi bersama, berkelana memburu senja terakhir di dunia sebelum kita tiada.” Yuuta bersuara lembut bersama kurva yang tak lekang pada mukanya, ia terlihat benar-benar menerima jika hari ini hari terakhir manusia memijaki tubuh mayapada.

Sepasang kaki kami berlari menyusuri nadi kota yang sunyi. Tawa kami mengisi sudut-sudut sepi yang tak terjamah suara sama sekali. Kami bahagia di tengah pertiwi yang hampir menuju mati. Di mataku semuanya terasa damai serupa telah mengamini.

Kami berdua memburu senja terakhir di dunia, sebelum malam menyapa, yang akan menghancurkan segalanya. Kami berdua membangun bahagia bersama, sebelum kami berdua tak lagi dapat bersua.

Kini, senja sudah menepi di depan mata kami. Tungkai kami memilih berlabuh pada pelabuhan pinggiran kota, menuju laut sejauh mata memandang. Gerak angin lambat bagai terjeda oleh masa, sementara Yuuta belum merangkai bicara sebab maniknya setia akan tubuh lautan di depan sana.

Aku pun sama adanya, memilih bersejawat dengan hening seraya mematri atensi kepada sang surya yang masih setia menggantung di kaki angkasa. Deru ombak yang pecah lamat-lamat mengecup telinga, teramat memanjakan indra hingga kami berdua sempat terlena, melupa akan fakta apabila sejenak lagi kami akan hancur bersama dunia.

“Aku selalu ingin melihat laut sebelum aku mati,” ujar Yuuta yang pada akhirnya mulai berbicara, aku menolehkan rupa, mata kami tak bertautan seperti semula.

“Mengapa—”

“Dan satu lagi, aku ingin bersamamu sebelum aku mati.”

Segera, sepasang netra legam sang taruna kembali memandangku. Senyum lembutnya tak pudar, justru kian berbinar. Tak lama, ia menarikku menuju peluknya, merengkuh teramat erat laksana enggan melepaskan 'tuk selamanya.

“Kau tahu? Aku mencintaimu, selalu ...,” Yuuta membisikkan kalimat itu di runguku sementara lengannya setia memelukku. “..., bahkan jika andaikata kita hidup kembali setelah ini, aku akan mencarimu. Sejauh apa pun dirimu dariku, aku akan mengejarmu.”

Air mataku luruh kendati Yuuta telah mengusirnya guna jemarinya. Aku mengurai air mata sebelum semuanya selesai 'tuk selamanya.

“Jangan menangis. Kamu bersamaku. Kamu tidak sendiri, ada aku bersamamu.”

Kami berdua memejamkan mata. Di dada, aku mengutarakan suara berupa maya, “Terima kasih, Yuuta. Aku juga mencintaimu.”

Dalam sunyi, sang surya perlahan angkat kaki. Detik menit detik, malam turun membinasakan diri.

Lalu, semuanya luluh-lantak menjadi abu.